Manakah
yang lebih mahal?
Seperti
yang kita ketahui, semua barang dan materi bisa dibeli dengan uang.
Namun bagaimana dengan puisi? Apakah puisi bisa kita beli? Apakah
puisi di perjual-belikan seperti roti-roti di pasar? Jika puisi itu
sama seperti benda atau materi yang lain yang bisa dijual, maka puisi
pasti mempunyai ‘bandrol’ harga dan bahkan mempunyai diskon.
Puisi
– atau jenis sastra lain seperti drama, dan prosa – merupakan
hasil dari imajinasi manusia yang berusaha menggambarkan suatu
realitas. Desertasi Chernyshevsky tentang Hubungan
Estetik Seni dan Realitas
mengatakan bahwa ada persaingan keindahan antara dunia seni dan dunia
realitas dan Keindahan dunia seni “Kalah” dengan keindahan dunia
realita. Goenawan Muhammad dalam esainya tentang Sastra dan Kekuasaan
memberikan ketentuan tersendiri dengan disertasi Chernyshevsky, yaitu
keindahan seni “tidak kalah” dengan keindahan realitas, Goenawan
tidak setuju tentang pandangan akan adanya persaingan tingkat
keindahan ini, dan mengatakan, masing-masing adalah suatu variasi.
Berkaitan
dengan hal itu, jika memang kehidupan realita dan kehidupan seni itu
disamakan, maka keindahan kehidupan seni itu pun juga bisa
“menghasilkan”, sama seperti dunia realita. Namun pertanyaan
selanjutnya adalah berapa harga satu puisi? Mungkin pertanyaan ini
hampir sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh Emha dalam buku
“Sastra yang Membebaskan”, yakni Bagaimana cara sastrawan
membebaskan seratus juta rakyat Indonesia dari kemiskinan? Emha
menjawab pertanyaan ini tidaklah proporsional, karena dua alas an.
Pertama, harus dibedakan konteksnya antara kemiskinan dan proses
pemiskinan. Kedua, sastra tidak seperti seorang pengurus zakat atau
pemberi shadaqoh. Sastra, dengan kekurangan, kodrat dan keterbatasan
jangkauannya,paling tidak bisa menjadi suatu tenaga sejarah perubahan
manusia. Dari pernyataan ini, puisi kedudukanya dalam kehidupan
berbeda dengan uang. Dan memang pandangan Chernyshevsky seolah proses
penciptaan puisi yang seharusnya adalah sama seperti penciptaan mie
goreng. Hal ini berarti bahwa harga puisi tidak berada pada angka
2.000 Rupiah.
Lalu
jika puisi dibandingkan dengan harga potong rambut di salon, mana
kiranya yang lebih mahal? Dalam hal ini mungkin benar kiranya sejarah
kesastraan itu selalu berubah-rubah. Misalnya, di era 70-an, model
rambut “klicit” menjadi dominan, pada itu juga puisi mempunyai
model “modern”, dan mungkin saat ini pun model rambut “harajuku”
sebanding dengan model puisi “postmodern”. Dari sini, ada
kemungkinan harga puisi sama dengan harga potong rambut, yakni
sekitaran 5.000 – 20.000 rupiah. Tapi saya yakin, tidak akan ada
seorang penyair yang mau menjual puisinya seharga 5.000 rupiah. Jika
memang ada, maka perlu di tanyakan kepenyairannya.
Selanjutnya,
bagimana jika kita bandingkan puisi dengan mobil Mercedes Benz? Kita
tentu sepakat ketika kita mengatakan bahwa puisi itu pada awalnya
tidak ada. Ia ada karena memang di-ada-kan oleh si penyair. Kaum
miskin tidak begitu membutuhkan mobil, karena hal itu tidaklah
penting. Yang lebih penting adalah kesanggupannya menawarkan
kemudahan di dunia. Jika mengaca pada asas manfaat, mobil itu ada
ketika dia sudah bermanfaat. Sama halnya dengan puisi. jika memang
puisi itu mempunyai manfaat seperti mobil Mercedes, maka puisi pun
bisa bernilai jutaan bahkan milyaran.
Dari
beberapa analogi diatas, tentu dengan mudah kita bisa menjawab
pertanyaan manakah yang lebih mahal antara puisi dengan model rambut,
puisi dengan mobil, dan yang lainnya. Namun bagaimana jika yang
dipertanyakan adalah berapa harga satu puisi? Apakah sama dengan
harga menulis di Koran atau di majalah? Jawaban dari pertanyaan ini
pasti akan digugat oleh banyak orang, terutama para penyair. Karena
penyair akan tersinggung perasaannya.
0 Responses to "Manakah yang lebih mahal?"
Post a Comment