0

Manakah yang lebih mahal?

Thursday, 12 December 2013

Manakah yang lebih mahal?
Seperti yang kita ketahui, semua barang dan materi bisa dibeli dengan uang. Namun bagaimana dengan puisi? Apakah puisi bisa kita beli? Apakah puisi di perjual-belikan seperti roti-roti di pasar? Jika puisi itu sama seperti benda atau materi yang lain yang bisa dijual, maka puisi pasti mempunyai ‘bandrol’ harga dan bahkan mempunyai diskon.
Puisi – atau jenis sastra lain seperti drama, dan prosa – merupakan hasil dari imajinasi manusia yang berusaha menggambarkan suatu realitas. Desertasi Chernyshevsky tentang Hubungan Estetik Seni dan Realitas mengatakan bahwa ada persaingan keindahan antara dunia seni dan dunia realitas dan Keindahan dunia seni “Kalah” dengan keindahan dunia realita. Goenawan Muhammad dalam esainya tentang Sastra dan Kekuasaan memberikan ketentuan tersendiri dengan disertasi Chernyshevsky, yaitu keindahan seni “tidak kalah” dengan keindahan realitas, Goenawan tidak setuju tentang pandangan akan adanya persaingan tingkat keindahan ini, dan mengatakan, masing-masing adalah suatu variasi.
Berkaitan dengan hal itu, jika memang kehidupan realita dan kehidupan seni itu disamakan, maka keindahan kehidupan seni itu pun juga bisa “menghasilkan”, sama seperti dunia realita. Namun pertanyaan selanjutnya adalah berapa harga satu puisi? Mungkin pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh Emha dalam buku “Sastra yang Membebaskan”, yakni Bagaimana cara sastrawan membebaskan seratus juta rakyat Indonesia dari kemiskinan? Emha menjawab pertanyaan ini tidaklah proporsional, karena dua alas an. Pertama, harus dibedakan konteksnya antara kemiskinan dan proses pemiskinan. Kedua, sastra tidak seperti seorang pengurus zakat atau pemberi shadaqoh. Sastra, dengan kekurangan, kodrat dan keterbatasan jangkauannya,paling tidak bisa menjadi suatu tenaga sejarah perubahan manusia. Dari pernyataan ini, puisi kedudukanya dalam kehidupan berbeda dengan uang. Dan memang pandangan Chernyshevsky seolah proses penciptaan puisi yang seharusnya adalah sama seperti penciptaan mie goreng. Hal ini berarti bahwa harga puisi tidak berada pada angka 2.000 Rupiah.
Lalu jika puisi dibandingkan dengan harga potong rambut di salon, mana kiranya yang lebih mahal? Dalam hal ini mungkin benar kiranya sejarah kesastraan itu selalu berubah-rubah. Misalnya, di era 70-an, model rambut “klicit” menjadi dominan, pada itu juga puisi mempunyai model “modern”, dan mungkin saat ini pun model rambut “harajuku” sebanding dengan model puisi “postmodern”. Dari sini, ada kemungkinan harga puisi sama dengan harga potong rambut, yakni sekitaran 5.000 – 20.000 rupiah. Tapi saya yakin, tidak akan ada seorang penyair yang mau menjual puisinya seharga 5.000 rupiah. Jika memang ada, maka perlu di tanyakan kepenyairannya.
Selanjutnya, bagimana jika kita bandingkan puisi dengan mobil Mercedes Benz? Kita tentu sepakat ketika kita mengatakan bahwa puisi itu pada awalnya tidak ada. Ia ada karena memang di-ada-kan oleh si penyair. Kaum miskin tidak begitu membutuhkan mobil, karena hal itu tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kesanggupannya menawarkan kemudahan di dunia. Jika mengaca pada asas manfaat, mobil itu ada ketika dia sudah bermanfaat. Sama halnya dengan puisi. jika memang puisi itu mempunyai manfaat seperti mobil Mercedes, maka puisi pun bisa bernilai jutaan bahkan milyaran.
Dari beberapa analogi diatas, tentu dengan mudah kita bisa menjawab pertanyaan manakah yang lebih mahal antara puisi dengan model rambut, puisi dengan mobil, dan yang lainnya. Namun bagaimana jika yang dipertanyakan adalah berapa harga satu puisi? Apakah sama dengan harga menulis di Koran atau di majalah? Jawaban dari pertanyaan ini pasti akan digugat oleh banyak orang, terutama para penyair. Karena penyair akan tersinggung perasaannya.

0 Responses to "Manakah yang lebih mahal?"