0

Merariq: Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal

Thursday, 12 December 2013

Merariq: Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal
Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi, MA
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.
Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan.
Selanjutnya, apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakanmerari’, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’ sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam.
Merariq dan Latar Sejarah Tradsinya
Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.
Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.
Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu:Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.
Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari (merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid.
Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.
Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.
Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja].  Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.

Prinsip Dasar Tradisi Merari’
Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).
Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut.
Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat.
Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawarpisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkatpendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat Sasak.
Sisi Positif Tradisi Merari’
Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah). Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah  maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya.
Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.  Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum  pada  acara nyongkolan yang  menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.
Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.
Sisi Negatif Tradisi Merari’
Dalam banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).
Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke(jaminan).

0

Konser Puisi di Fakultas Adab

Konser Puisi di Fakultas Adab
Setiap Kamis pagi, sekitaran pukul 09.00 dan pukul 10.00, di taman Fakultas ada sebuah pertunjukan menarik yang menyedihkan, yaitu pertunjukkan pembacaan puisi. Pembacaan puisi mingguan itu rutin dilakukan semenjak beberapa bulan terakhir. Mereka membacakan puisi beberapa penyair terkenal di Indonesia, diantaranya Sapardi, Chairil Anwar, Gus Mus, Rendra, dan semacamnya. Hal itu sungguh menarik, mengingat Fakultas Adab secara harfiah berarti Fakultas sastra, dimana pusat kesastraan UIN Sunan Kalijaga adalah Fakultas Adab. Namun, ada beberapa hal yang menyedihkan dan bahkan sampai pada kata memprihatinkan. Penyebabnya adalah kurangnya minat dan apresiasi warga Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, yang ermasuk warga disini adalah para Mahasiswa, Ormawa, dan para dosen.
Dalam hal ini, seharusnya yang sangat berperan adalah Organisasi Mahasiswa (Ormawa). Hal itu dikarenan jajaran Ormawalah yang seharusnya menampung segala keinginan mahasiswa. Konser puisi tersebut jika dilihat secara sekilas memang terkesan biasa-biasa saja, tidak ada yang wah. Penyebab utamanya adalah Ormawa tidak mewadahi mereka.
Kesan selanjutnya yang muncul adalah ‘guyonan’. Mereka membaca puisi dengan seadanya, tidak perduli dengan makna puisi dan mengesampingkan nilai estetis puisi. Ini yang paling menyedihkan. Misalnya saja membacakan sajak “Hai Ma,” karya Rendra, mereka membacakannya dengan tanpa mempertimbangkan makna puisi tersebut, sekedar baca, sedikit teriak, berjalan-jalan, dan ketika selesai, tepuk tangan pun menyambut turunnya sang pembaca, namun yangmemberi tepuk tangan itu dari mereka-mereka sendiri, seakan hadiah yang diberikan kepada pembaca karena telah maju, dan dikatakan sang pembaca telah mempunyai mental – mental orang gila atau mental penyair? – yang bagus. Sepintas memang mereka terlihat “sok penyair”, “sok sastrawan”
Yang menyedihkan berikutnya adalah kesan mengganggu. Secara langsung memang ini menyakitkan bagi pembaca puisi, namun memang sebagian dari mahasiswa atau dosen merasakan ini. Seolah konser puisi di taman fakultas adalah pengganti demo. Memang pada jam-jam seperti itu ada perkuliahan, dan suara konser puisi itu seolah suara para pendemo yang tidak penting dan mengganggu perkuliahan. Pertanyaan yang muncul dari sini adalah apakah benar ini fakultas sastra kalau orangnya tidak suka sastra? Ini belum menyangkut pelegalan mereka. Ketika mereka dikatakan komunitas yang illegal, maka boleh jadi jika mereka yang tidak suka akan memanggil satpam dan mengusir mereka.
Namun, akan berbeda jika Ormawa telah menfasilitasi mereka. Mungkin dari segi artistik akan diperindah, diberikan tempat khusus bagi mereka, diberi jam khusus bagi mereka, member latihan kepada mereka tentang pembacaan puisi, apalagi jika mereka mendapat restu dari dosen. Setidaknya cap “pengganggu” yang mereka dapat telah hilang.

0

Berkarya dalam sastra, bersastra dalam karya

PELATIHAN JURNALISTIK OLEH BEM-F ADAB
Pelatihan jurnalistik yang baru saja diselenggarakan di fakultas Adab dan Ilmu Budaya (FADIB), merupakan salah satu agenda dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-F) FADIB. Acara pelatihan ini diselenggarakan kemarin pada tanggal 19 oktober 2013 yang dibuka dengan sambutan bapak Patah selaku PD III FADIB. Selain membuka acara pelatihan tersebut beliau juga memberikan sedikit motifasi kepada para peserta untuk berkarya. Pelatihan jurnalistik yang bertempat di Gedung Teaterikal Adab ini mengusung tema “BERKARYA DALAM SASTRA dan BERSASTRA DALAM KARYA”, dengan tujuan mengembalikan FADIB pada khasanah kesusastraan.
Setelah mendengarkan sambutan dari PD III, para peserta yang dalam hal ini adalah mahasiswa Fakultas Adab menunggu seorang narasumber yang di minta panitia untuk sedikit berbagi pengalaman di bidang jurnalistik. Ada tiga narasumber pada acara ini, yaitu; Yasser Arafat (Peresensi Buku), Akhiriyani Sundari (Ketua Komunitas Matapena), dan Evi Idawati (Penyair). Narasumber pertama yaitu Yasser Arafat, beliau menjelaskan apa itu resensi buku. Menurut pandangan beliau meresensi buku itu sama halnya dengan membaca buku lalu menuliskannya menjadi sebuah lapuran yang enak dibaca. Beliau juga menjelaskan bahwa menulis resensi buku tidak jauh berbeda dengan bercerita atau kita menceritakan sebuah buku dengan cara kita sendiri, lalu dituliskan dengan bahasa cerita.
Adapun langkah-langkah yang yang beliau terangkan dalam meresensi buku yaitu: Pertama: membaca judul dan anak judul buku. kedua: membaca kata pengantar dan pendahuluan pada buku ang akan diresensi. ketiga: membaca bab atau sub-bab yang sekiranya menarik. Apabila dari ketiga cara diatas belum mendapatkan apa-apa maka yang: keempat: menyalin pikiran utama pada buku tersebut dengan bahasa sendiri. Dalam hal ini bahasa yang digunakana adalah bahasa santai yang sekiranya enak dibaca khalayak umum. Adapun hasil dari materi ini peserta diminta untuk membuat tulisan bebas, semua peserta sangat antusias untuk membuat tulisan bebas. Tepat pukul 11:30 semua peserta diistirahatkan karena memang waktu istirahat, dan tepat pukul 12:30, narasumber kedua, Akhiriyani Sundari. Beliau menjelaskan tentang bagaimana menulisesai. Pada materi ini peserta kurang antusias, karena suasana yang kurang mendukung. Banyak peserta yang dalam hal ini mulai mengantuk. Akan tetapi sama sekali pemateri tidak mengeluh untuk membagikan pengalamannya dalam dunia jurnalistik, sampai pada akhir materi beliau memerintahkan kepada peserta untuk membuat tulisan dalam bentuk esai.
Rehat kedua pun tiba, para peserta keluar ruangan dan kembali masuk pada pukul 13:30 guna melanjutkan pelatihan berikutnya. Evi Idawati dalam hal ini yang memberikan materi terakhir. Antusias para peserta kembali muncul, karena beliau menjelaskan tentang puisi. Beliau memulai materi dengan menjelaskan bagaimana menulis puisi yang baik, menghayati sebuah puisi, sampai pada tahapan yang paling susah dalam menulis puisi, yaitu mengenai bagaimana menulis puisi yang utuh, sederhana, dan memilikiruh. Setelah sekian banyak penjelasan, sesi Tanya jawab pun dimulai, salah satu peserta bertanya bagaimana untuk menuliskan apa yang kitalihat, kita dengar, kita fikirkan, dan kita rasakan dalam hati menjadi puisi yang baik, beliau menjawab semuanya itu harus dileburkan menjadi satu, lalu akan muncul gagasan ataupun ide baru untuk dijadikan puisi. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan karena memang para peserta sangat antusias dalam mengikuti pelatihan yang di-narasumberi oleh beliau.
Setelah sesi Tanya jawab para peserta diminta untuk menulis puisi dengan judul “ibu”. Kemudian para peserta membacakannya satu persatu dan dibedah langsung oleh Evi. Saat koreksi puisi beliau juga menerangkan perlunya pemadatan kalimat maupun diksi dan metafor yang digunakan harus benar-benar sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulis puisi itu, yang mana kesemua itu berpengaruh penting dalam menulis puisi, sehingga menjadi puisi yang utuh dan memiliki ruh. “Puisi adalah menghidupkan sesuatu yang mati, sehingga sesuatu itu memiliki makna karena puisi yang ditulis oleh seorang penyair”. Ujarnya.
Jika dilihat dari segi kualitas acara pelatihan jurnalistik tersebut sangatlah bagus, karena memiliki tujuan untuk mengembalikan khasanah sastra di FADIB Khususnya dan UIN Sunan Kalijaga umumnya. Akan tetapi, ada beberapa kekurangan pada acara tersebut,
Pertama, kurangnya peserta. Hal itu dikarenakan karena kurangnya sosialisasi dari panitia sehingga peserta yang ikut kurang maksimal. Kedua, banyak waktu kosong pada saat acara, sehingga setiap pergantian materi selalu molor. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, Muhammad Syamwil (SI/3), berpendapat bahwa acara tersebut sangat bagus, karena mengenalkan dunia jurnalistik kepada mahasiswa, yang mana ini tidak ditemui dalam perkuliahan. Panitia pun menyadari kekurangan tersebut, namun acara tersebut tidak begitu saja berakhir. Panitia akan menindaklanjuti dengan cara membuat karya jurnalistik yang khusus untuk BEM-F FADIB. Acara berakhir tepat pukul 17:30 dan ditutup dengan bersalaman antara peserta dan panitia.

0

Manakah yang lebih mahal?

Manakah yang lebih mahal?
Seperti yang kita ketahui, semua barang dan materi bisa dibeli dengan uang. Namun bagaimana dengan puisi? Apakah puisi bisa kita beli? Apakah puisi di perjual-belikan seperti roti-roti di pasar? Jika puisi itu sama seperti benda atau materi yang lain yang bisa dijual, maka puisi pasti mempunyai ‘bandrol’ harga dan bahkan mempunyai diskon.
Puisi – atau jenis sastra lain seperti drama, dan prosa – merupakan hasil dari imajinasi manusia yang berusaha menggambarkan suatu realitas. Desertasi Chernyshevsky tentang Hubungan Estetik Seni dan Realitas mengatakan bahwa ada persaingan keindahan antara dunia seni dan dunia realitas dan Keindahan dunia seni “Kalah” dengan keindahan dunia realita. Goenawan Muhammad dalam esainya tentang Sastra dan Kekuasaan memberikan ketentuan tersendiri dengan disertasi Chernyshevsky, yaitu keindahan seni “tidak kalah” dengan keindahan realitas, Goenawan tidak setuju tentang pandangan akan adanya persaingan tingkat keindahan ini, dan mengatakan, masing-masing adalah suatu variasi.
Berkaitan dengan hal itu, jika memang kehidupan realita dan kehidupan seni itu disamakan, maka keindahan kehidupan seni itu pun juga bisa “menghasilkan”, sama seperti dunia realita. Namun pertanyaan selanjutnya adalah berapa harga satu puisi? Mungkin pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh Emha dalam buku “Sastra yang Membebaskan”, yakni Bagaimana cara sastrawan membebaskan seratus juta rakyat Indonesia dari kemiskinan? Emha menjawab pertanyaan ini tidaklah proporsional, karena dua alas an. Pertama, harus dibedakan konteksnya antara kemiskinan dan proses pemiskinan. Kedua, sastra tidak seperti seorang pengurus zakat atau pemberi shadaqoh. Sastra, dengan kekurangan, kodrat dan keterbatasan jangkauannya,paling tidak bisa menjadi suatu tenaga sejarah perubahan manusia. Dari pernyataan ini, puisi kedudukanya dalam kehidupan berbeda dengan uang. Dan memang pandangan Chernyshevsky seolah proses penciptaan puisi yang seharusnya adalah sama seperti penciptaan mie goreng. Hal ini berarti bahwa harga puisi tidak berada pada angka 2.000 Rupiah.
Lalu jika puisi dibandingkan dengan harga potong rambut di salon, mana kiranya yang lebih mahal? Dalam hal ini mungkin benar kiranya sejarah kesastraan itu selalu berubah-rubah. Misalnya, di era 70-an, model rambut “klicit” menjadi dominan, pada itu juga puisi mempunyai model “modern”, dan mungkin saat ini pun model rambut “harajuku” sebanding dengan model puisi “postmodern”. Dari sini, ada kemungkinan harga puisi sama dengan harga potong rambut, yakni sekitaran 5.000 – 20.000 rupiah. Tapi saya yakin, tidak akan ada seorang penyair yang mau menjual puisinya seharga 5.000 rupiah. Jika memang ada, maka perlu di tanyakan kepenyairannya.
Selanjutnya, bagimana jika kita bandingkan puisi dengan mobil Mercedes Benz? Kita tentu sepakat ketika kita mengatakan bahwa puisi itu pada awalnya tidak ada. Ia ada karena memang di-ada-kan oleh si penyair. Kaum miskin tidak begitu membutuhkan mobil, karena hal itu tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kesanggupannya menawarkan kemudahan di dunia. Jika mengaca pada asas manfaat, mobil itu ada ketika dia sudah bermanfaat. Sama halnya dengan puisi. jika memang puisi itu mempunyai manfaat seperti mobil Mercedes, maka puisi pun bisa bernilai jutaan bahkan milyaran.
Dari beberapa analogi diatas, tentu dengan mudah kita bisa menjawab pertanyaan manakah yang lebih mahal antara puisi dengan model rambut, puisi dengan mobil, dan yang lainnya. Namun bagaimana jika yang dipertanyakan adalah berapa harga satu puisi? Apakah sama dengan harga menulis di Koran atau di majalah? Jawaban dari pertanyaan ini pasti akan digugat oleh banyak orang, terutama para penyair. Karena penyair akan tersinggung perasaannya.

0

TADARUS PUISI SEBAGAI IDENTITAS FAKULTAS?

TADARUS PUISI SEBAGAI IDENTITAS FAKULTAS?

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja, kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini”. Suara yang menderu ini terdengar dari gerbang masuk fakultas Adab (Gerbang Budaya) dan menggema di setiap hari Kamis,yang dikumandangkan di taman Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Tadarus puisi ini memang telah menjadi agenda rutin yang dilakoni oleh mahasiswa semenjak tahun 2011 silam, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa pelopornya adalah mahasiswa anggota PMII yang mengatasnamakan diri sebagai korp Perisai rayon Civil Community yang resmi menjadi mahasiswa aktif pada tahun 2011, dan agenda ini pun secara tidak langsung disambut baik oleh seluruh civitas akademika fakultas.
Tadarus puisi ini juga merupakan salah satu simbol bagi fakultas yang telah mempunyai citra di Universitas bahwa fakultas ini adalah “Lumbung” sastra dan budaya, yang mana di dalam fakultas terdapat prodi-prodi yang sarat dengan sastra dan kebudayaan, seperti Sastra Inggris, Bahasa dan Sastra Arab, dan lainnya. Citra ini tidak serta-merta didapat oleh Fakultas dengan tidak sengaja, namun didukung pula oleh Badan Otonom Mahasiswa Fakultas (BOM-F) Adab dan ilmu Budaya yakni Sanggar Nuun yang telah dikenal luas oleh universitas bahkan luar UIN Sunan Kalijaga. Dan salah satu upaya mahasiswa untuk melestarikan budaya sastra di dalam lingkup Fakultas adalah dengan mengadakan acara tadarus puisi ini.
Namun dalam perkembangannya, suatu acara atau proses, pasti ada yang menilai pro dan kontra. Itu pun dialami oleh acara tadarus puisi. Ada yang mengamini secara langsung dan serta-merta mengambil posisi terdepan dalam acara tersebut. Namun ada pula beberapa orang yang menganggap bahwa acara tadarus puisi ini adalah sesuatu yang membuang-buang waktu, dan mengganggu jalannya perkuliahan sehingga mahasiswa lain yang sedang berada di ruang yang berdekatan dengan taman Budaya merasa terganggu dalam menerima penjelasan dari Dosen.
Dalam wawancara singkat kepada beberapa mahasiswa, Tim Literasia mengambil kesimpulan bahwa Tadarus puisi ini sangat diapresiasi oleh mahasiswa sebagai nilai tambah untuk mengembangkan bakat dan minat mahasiswa untuk mendalami karya sastra dan Puisi khususnya. Dan untuk ke depan, para Narasumber menyarankan kepada penyelenggara dan peserta Tadarus puisi ini untuk dapat lebih Aktif, Kreatif, dan Produktif dalam hal pembuatan dan pembacaan puisi ini. Karena, berdasarkan observasi Tim Literasia, Tadarus Puisi ini Lebih cenderung menyampaikan Puisi yang sama dari waktu ke-waktu, dan Tema Tadarus Puisi pada setiap pertemuan belum ditemukan. Juga seruan tadarus puisi ini seyogyanya di serukan kepada seluruh Civitas Akademika,Agar tidak mencitrakan bahwa Tadarus puisi ini adalah hak milik suatu kelompok” ujar seorang narasumber dari Prodi Sastra Inggris di sela perkuliahan.
Selanjutnya, untuk sikap kontra yang dilontarkan oleh beberapa Civitas akademika, menurut Narasumber, ini adalah hal yang wajar, selagi ke-konta-an atau kritik yang di lontarkan adalah membangun, kritik ini harus ditampung untuk dijadikan suatu cambuk pacu agar tadarus puisi ini dapat berjalan dengan baik dan menjadi sesuatu yang dibanggakan untuk kedepannya.

0

Puisi "........"


Kaki ini selalu berpijak pada bumi pertiwi
Menegakkan paradigm akan merah putih dalam pusaka
Menggoreskan sila tundukkan kepala
tuk menikmati nilai tiap butirnya
Netra ini tak ‘kan lelah mencari
Hakikat tanah surge yang telah tenggelam
Hanya terukir dalam prasasti purba
Meninggalkan sang surya bersama sinarnya
Lisan ini takkan berikrar
Ku cium balutan sang saka penuh kesucian
Meleburkan ludira kuasai kalbu
Mengeluarkan desiran dibawah kobaran zaman
Telinga ini merindukan alunan sentuhan alam
Menyatukan tiap irama satu bangsa
Sadarkan jiwa ini masih merdeka
Dan ‘kan tetap bereksistensi di pusaka khatulistiwa
Raga ini mencoba menyulam falsafah
Terbangkan esensi menuju relung-relung dada nusantara
Memeluk erat namamu segarkan sukma
Bangkitkan gelora INDONESIA

0

Puisi "..."


Kala cinta menanti kabar
tuk bahagiakan ia dan kebanggaannya
Engkau datang dengan selembar kata yang kau sebut itu dengan puisi
Engkau yang mampu hadirkan sejuta misteri
Engkau yang mampu hadirkan sejuta teka-teki
Engkau yang mampu hadirkan sejuta pesona
Untuk ia yang ku beri nama cinta
Wahai jiwa di mana aliran bait indah selalu menyelimuti
Tak sadarkah engkau
Membuat cinta bertanya akan cinta
Terombang-ambing akan pelukan kalbu
Cinta ‘kan datang kembali dalam puisina
Karena engkau adalah rangsa, sang pemilik janji satu purnama

By Immaniesnoel