Merariq:
Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal
Oleh: Muhammad Harfin
Zuhdi, MA
Perkawinan
merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak.
Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat
apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh
hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun
sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam
dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan,
tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana
pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi
masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut
orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk
mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak
laki-laki dan kerabat pihak perempuan.
Berdasarkan
tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam
masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang
pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang
disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan
misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang
mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga)
disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat
hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan
perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan)
disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas
daerah/wilayah). Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan
perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan
(penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas
hubungan kekeluargaan.
Selanjutnya,
apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak
membicarakanmerari’, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan
istri. Merari’ sebagai ritual memulai perkawinan
merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui
di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah
dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang
yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut
cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau
belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan
hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak
perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada
bedanya dengan meminta seekor ayam.
Merariq
dan Latar Sejarah Tradsinya
Dalam
adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara
etimologis kata merari’diambil dari kata “lari”,
berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan.
Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di
Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.
Secara
terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari.
Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan
perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata
untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.
Berdasarkan
informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin
lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang
mengemuka, yaitu:Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari
(merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual
asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan
oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial
Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang
dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar,
mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan
peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut
Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak
yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau
adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.
Kedua,
akulturasi merari’. Kawin lari (merari’) dianggap budaya
produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak
serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali.
Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori
oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru
Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap
manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang
sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di
Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan
Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Solichin
Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan
pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan
kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak
bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi
lebih valid.
Dalam
konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua,
yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat
hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali
terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial
yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan
pola hindu-Bali.
Tradisi merari’ ini
merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial
masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan
nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan
nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh
filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran
kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan
pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat
masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis
Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok,
beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya
dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang
Sasak.
Merari’ sebagai
sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat
Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil
mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada
isi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan,
kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja
jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan
bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara
biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada
ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m
ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja].
Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah
cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar
dari konflik.
Prinsip
Dasar Tradisi Merari’
Bedasarkan
penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang
terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau
Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari
(merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas
harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini,
seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai
sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas
keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga
perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki
keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan
yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat
tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya
memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga
perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin
lari (merari’).
Kedua,
superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa
dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang
lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi
sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar
suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum
direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan
legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain
menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum
perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin
lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap
yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan
menikmati suasana inferioritas tersebut.
Ketiga,
egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa
kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan.
Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman,
bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong
sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari
(merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di
lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak
selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya
berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada
kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon
istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan
sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara
keluarga dan komponen masyarakat.
Keempat,
komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses
tawar menawarpisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang
biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa
bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek
ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada
indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya
sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap
dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya
tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi
tingkatpendidikan dan
tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar
sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan
tingkat pendidikan anak
serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Komersialisasi
kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan
apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak.
Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku
Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya
komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada
dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi
masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat
luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian
menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan
inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan
peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya
dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan
masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal
dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh
masyarakat Sasak.
Sisi
Positif Tradisi Merari’
Sikap
“heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa
tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan
kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok
merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk
membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah
diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya
memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam
senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah
didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja
perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis
sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang
berkaitan dengan anjuran menikah.
Dalam
sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at
fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan
nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah). Mampu di sini
diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon
isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon
mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa:
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula
dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi
seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah
daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan
mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan
orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa
sepengetahuan keluarganya.
Tradisi
adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan
ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai
dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada
kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan
merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang
dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu
terjadi penyelewenagn oleh oknum pada acara nyongkolan
yang menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan
minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang
perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah
yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.
Saat
ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan
perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’
ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat
lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa.
Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara
bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan
memiliki pengalaman di daerah lain.
Sisi
Negatif Tradisi Merari’
Dalam
banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat
marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior.
Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan
persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa
lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang
yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan
“ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan
meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara,
kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan
dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang
tuanya).
Begitu
juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan
sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses
perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang
dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke(jaminan).